Dantidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).(Q.S.Hud :6) [709]. Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
Dibacasesuai dengan kemampuan. Yang penting hati khusyuk, menep, pasrah dan ikhlas seribu persen. Karena ini doa yang netral maka boleh dibaca dimanapun anda berada. Amalan ini bermanfaat untuk MENCARI KERIDHOAN ALLAH SWT dan apa saja sesuai hajat anda.
Beribadahjuga ada ilmunya, agar ibadah diterima Allah SWT. Maka tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu niat yang benar ingin mendapat ridho Allah SWT. Kedua, Al Muttaba'ah yaitu beribadah sesuai dengan tuntunan. Ketiga, beribadah harus ikhlas mendapat ridho Allah SWT, terangnya. Sementara itu, Ma'ali Sofyan selaku Pimpinan Ranting
Ammaba'du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia." (HR.
SesungguhnyaIa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 1. TAUBAT. "Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan mengampuninya" HR. Muslim, No. 2703. "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama ruh belum sampai ketenggorokan". 2. KELUAR UNTUK MENUNTUT ILMU.
MENCARIRIDHO ILLAHI Selasa, 08 Maret 2011. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya
MZduzg. Tegaknya peradaban Islam adalah visi kita bersama. Namun, jangan keliru! Ia bukan tujuan hidup kita. Sebab, peradaban Islam –dengan atau tanpa kita– pasti akan tegak. Ini sudah dinyatakan oleh Rasulullah ﷺ dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal. Bukankah sesuatu yang pasti tak tepat bila dijadikan tujuan? Lalu, apa sebenarnya tujuan hidup kita? Beribadah kepada Allah Ta’ala. Itulah tujuan hidup kita, sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat Az-Zariyat [51] ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Ibadah, secara bahasa, berarti tunduk. Dalam makna yang lebih luas, para ulama menyatakan ibadah mencakup seluruh apa yang diridhoi oleh Allah Ta’ala. Inilah bahasa lain dari tujuan hidup manusia. Apa pun yang membuat Allah Ta’ala ridho, akan kita lakukan dengan segala ketundukan. Salah satu hal yang membuat Allah Ta’ala ridho adalah keterlibatan kita dalam proses membangun peradaban mulia sebagaimana dulu Rasulullah ﷺ membangun peradaban Madinah. Namun, proses ini tak bisa dijalankan secara tergesa-gesa. Proses ini akan panjang dan perlu tahapan yang benar agar betul-betul sempurna. Tahapan awal, jika merujuk perjalanan Rasulullah ﷺ, adalah ber-iqro, yakni membaca dan memahami siapa itu Rabb, apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan apa pula yang dilarang oleh-Nya. Pemahaman ini harus diikuti oleh ketaatan untuk mematuhinya. Tahap selanjutnya, kita harus berdakwah, mengajak orang lain untuk meniti jalan lurus bersama kita, jalan yang pernah dilalui oleh para Nabi. Jalan para Nabi tak pernah mudah, demikian pula jalan dakwah yang kita ikuti ini. Sebab, menurut Rasulullah ﷺ dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi. Setelah itu orang-orang shaleh sesuai tingkat kesalehannya. Bila ia kuat, akan ditambah cobaan baginya. Bila ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Ibnu Taimiyyah juga menyatakan hal serupa dalam al-Ubudiyyah. Menurutnya, orang-orang yang paling keras cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang paling menyerupai para Nabi, lalu yang paling menyerupai lagi. Karena itu, dakwah butuh kesabaran. Mereka bakal menemui banyak rintangan. Bahkan, boleh jadi mereka akan berhadap-hadapan dengan orang tuanya sendiri, anak kandungnya, pasangan hidupnya, atau orang-orang yang dicintainya. Dari proses dakwah inilah akan terbangun lingkungan yang memiliki tatanan sesuai petunjuk wahyu. Mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, lama kelamaan, jika Allah Ta’ala menghendaki, membesar dan bertambah banyak. Dulu pun demikian. Rasulullah ﷺ membangun lingkungn kecil di Madinah yang berpusat di Masjid Nabawi. Lalu perlahan-lahan mulai meluas hingga ke seluruh Madinah. Kemudian membesar hingga ke wilayah-wilayah sekitar Madinah. Bahkan, pada zaman Umar bin Khaththab, wilayah Islam semakin meluas, meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Suriah, Iraq, Persia, dan Mesir. Namun, karena ini butuh proses yang lama, boleh jadi sepanjang hidup kita, peradaban Islam tak pernah tegak. Tak mengapa! Sebab, tujuan hidup kita bukan itu. Tujuan hidup kita adalah mencari ridho Allah Ta’ala. Jika kita ikut terlibat dalam upaya membangun peradaban Islam sebagaimana dulu Rasulullah ﷺ membangun peradaban Madinah, melewati tahapan-tahapannya dengan sabar, maka isnya Allah, kita telah menjadi pemenang. Wallahu a’lam.*
Cara Mendapat Ridha Allah SWT. Amal baik karena Allah SWT ilustrasi JAKARTA - Pimpinan Pesantren Tahfizh Mutiara Darul Quran, Bandung Ustadz Teguh Turwanto, menyampaikan tentang bagaimana Allah menanamkan rasa kasih sayang kepada seorang hamba, dijelaskan dalam surah Maryam ayat 96. إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang." Ustadz Teguh mengatakan, bahwa Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang. "Bahwa wuddan itu artinya kasih sayang," katanya. Usman ibnu Affan pernah mengatakan tidak ada seorang hamba pun yang beramal baik atau amal buruk, melainkan Allah memakaikan kepadanya buah dari amal perbuatannya yang melekat pada tubuhnya bagai kain selendang. Dari penjelasan tafsir di atas, kita bisa mengambil ibrah pelajaran bahwa begitu dahsyatnya cinta Allah kepada hamba-Nya, sudah sepantasnya kita agar selalu mencari dan memburu ridha-Nya, bukan memburu ridha keridhaan yang lain. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Di penghujung Ramadhan ini saya ingin membahas tentang makna “ridho” kepada ALLAH yang sebenarnya. Memahami makna kata “ridho” ini penting karena sering kali kita selalu mendengar banyak ceramah yang mengatakan “kita harus mencari ridho ALLAH”. Apa sih arti ridho itu sebenarnya? kenapa menjadi hal penting dalam hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat? Sering kali kata ridho ini dijadikan alasan penyebab sebuah kegagalan dalam mencapai impian, banyak orang lalu mengatakan bahwa ALLAH belum ridho dengan keinginannya sehingga apa yang diinginkan tidak dikabulkan alias tidak terwujud. Betulkah seperti itu cara memahami makna dari Ridho Allah yang sebenarnya? Padahal terwujud atau tidaknya keinginan seseorang adalah hasil dari pikirannya sendiri. Saya ingin memulai memahami makna kata “ridho” dari asal katanya dulu ya. Ridho berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridho adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada, menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa. Menurut penjelasan arti ridho itu, maka sepertinya saya sering menulis di blog ini, di facebook bahkan di channel Youtube Cahaya kehidupan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk marah atau kecewa terhadap sebuah kejadian karena semua kejadian yang kita alami adalah hasil keinginan sendiri. Bukankah itu sama artinya dengan ridho? kalau begitu ridho itu bukan dicari, bukan juga harus pergi ke tempat-tempat tertentu yang disebut suci atau disebut mustajab, melainkan adalah sikap kita dalam menyikapi sesuatu kejadian yang ada dalam diri kita. Sikap kita untuk tidak ngomel, tidak mengeluh, tidak marah atas semua kejadian yang ada, karena semua kejadian itu adalah hasil dari tarikan-tarikan kita sendiri. Itulah makna Ridho sebenarnya. Setelah bersikap ridho kepada diri kita maka baru langkah berikunya adalah mau mengubah pola pikir kita. Karena kalau pola pikir kita tetap saja maka pasti kejadian yang datang juga tetap-tetap saja. Mulai sekarang harap dipaham dan dikerjakan bahwa ridho itu adalah cara kita dalam menyikapi kejadian, dan ridho yang utama adalah menerima penciptaan diri kita sebagai manusia. Sudahkah anda ridho kepada penciptaan diri ini? Menerima dengan sepenuhnya bahwa kita adalah MANUSIA, dan MANUSIA adalah makhluk yang memiliki PIKIRAN, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menggunakan PIKIRAN. Kalau anda sering mengucapkan “saya ridho ya ALLAH”, maka harusnya dibarengi dengan sikap yang tidak ngomel, tidak perlu marah, tidak perlu sebel terhadap sebuah kejadian. Dan harus mau menggunakan PIKIRAN dengan benar. Karena diri kita sudah diciptakan sebagai MANUSIA, kalau anda tidak mau menggunakan PIKIRAN dengan benar maka itu artinya anda belum RIDHO kepada ALLAH. Jadi mengucapkan “saya ridho ya ALLAH” itu bukan hanya dimulut saja ya, tapi harus dibarengi dengan sikap dan perbuatan yang benar. Ketika kita ridho sepenuhnya atas diri ini maka PASTI Allah juga ridho, tentu ujung dari sikap ridho ini adalah kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Coba deh anda buktikan apa yang saya tulis ini, karena saya sudah membuktikanya. Ketika hidup dijalani dengan ridho Tanpa komplain terhadap sebuah kejadian maka yang ada memang selimut kebahagiaan. Maka mulai sekarang Ridholah dengan dirimu, terimalah dirimu seutuhnya, terimalah bahwa dirimu adalah MANUSIA. Diterbitkan oleh firmanpratama Praktisi dalam hal pikiran bawah sadar, dan penemu metode Alpha Mind Control sekaligus Alpha Telepati. Dalam hal melakukan transformasi diri kepada klien, dilakukan dalam suasana santai dan penuh canda sehingga proses terapi tanpa disadari oleh klien. Lihat semua pos dari firmanpratama
Mencari atau mengharap atau semata-mata demi “keridhaan Allah” adalah ungkapan jawaban yang sering kita dengar tatkala kita menanyakan tujuan dari suatu amal yang dilakukan oleh saudara kita. Jawaban itu sejatinya mencerminkan keimanan yang benar, jika memang diyakini seperti itu, terucap seperti itu, dan terwujud dalam realita amal yang selaras dengan itu. Namun alangkah sayangnya, karena tidak sedikit orang yang kurang memahami makna pernyataan yang agung tersebut. Ia menjadi semata-mata ucapan bibir yang lahir bukan dari pemahaman dan keyakinan. Dan ia menjadi kata-kata yang tidak bermakna karena tidak menemukan korelasi dengan perilaku kehidupan keseharian. *** Baru-baru ini saya menerima e-mail. E-mail itu cukup membuat saya berpikir dan mengevaluasi kembali apa-apa yang telah saya lakukan. Apakah yang saya lakukan selama ini benar dalam rangka menggapai ridha Allah atau tidak. Saya bersyukur, karena e-mail itu mengingatkan diri saya, bahwa apa yang saya lakukan boleh jadi salah. Ini berarti suatu peluang bagi saya untuk memperbaiki kesalahan sehingga tidak terulang dikemudian hari. Seorang muslimah yang mengirim e-mail itu menulis, “Sepintas saya menangkap Bapak melakukan amal seperti dzikir, bayar zakat, dan amal-amal lain, agar doa Bapak untuk mendapat keselamatan selama terbang terkabul. Apabila memang demikian sayang dong Pak!” Tulisan dia menjadi bahan perenungan saya. Apakah jika seseorang bermohon untuk selamat dari bahaya itu salah? Saya berpikir hal itu menjadi salah manakala seseorang memohon keselamatan kepada tuhan lain’ selain Allah atau menjadi salah manakala seseorang meyakini bahwa dengan amal itu, Allah pasti’ akan menyelamatkannya. Sepanjang ia memohon keselamatan kepada Allah’ —dzat yang mampu memberi keselamatan kepada orang yang dikehendaki, bukan kepada tuhan lain—dan amal yang dilakukannya adalah sebagai ikhtiyar wasilah’ yang tidak mengurangi kekuasaan Allah untuk menyelamatkan atau mencelakakan seseorang, maka apa yang dilakukannya adalah hal yang bisa dibenarkan oleh syariat. Muslimah itu kemudian melanjutkan, “Saya pun selalu berdoa untuk banyak permohonan. Lemah rasanya menjalani hidup tanpa doa. Tetapi saya juga sedang belajar untuk tidak berhitung dengan amal-amal saya karena masih harap cemas apakah amal saya diterima atau tidak.” Saya pun kembali berenung, apakah dengan mengikhlaskan tujuan karena Allah kita tidak boleh memiliki tujuan lain? Saya berpandangan tujuan-tujuan lain diperbolehkan sepanjang dalam rangka menenuhi tujuan karena Allah, bukan tujuan utama yang paling dominan. Sama halnya dengan pernyataan bahwa keimanan yang benar adalah menjadikan Allah sebagai dzat yang satu-satunya dicintai, namun keimanan itu tidak menafikan adanya cinta kepada isteri, anak, atau harta benda. Keimanan yang benar menempatkan cinta kepada semua itu dalam rangka mencintai Allah dan cinta kepada semua itu tidak lebih dominan dibanding cintanya kepada Allah. Apakah dengan amal-amal itu saya berhitung dengan Allah? Berhitung-hitung biasanya dilakukan oleh anak kecil. Saya kerapkali menghadapi anak saya —yang karena sifat kekanakannya—masih berhitung dalam hal ketaatan kepada saya selaku orang tua. Ia mau mengerjakan apa yang saya perintahkan —entah berbentuk permintaan tolong atau larangan—jika saya mau memberikan sejumlah uang tertentu. Jika saya tidak mau memberikan sejumlah uang itu, ia pasti tidak akan melaksanakan apa yang saya perintahkan itu. Apakah maksud e-mail itu jika berdoa ya berdoa saja, tidak perlu beramal ini itu dengan tujuan ini itu? Atau jika dianalogikan ke anak kecil, minta ya minta saja, tidak usah merayu-rayu dan mengambil simpati? Misal dengan menjadi lebih penurut dan lebih sopan? Waallahu a’lam. Keselamatan adalah hal yang ghaib, berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Apakah pada akhirnya seseorang selamat atau tidak, semua itu menjadi rahasia Allah. Jika seseorang melakukan ketaatan demi memperoleh sesuatu yang masih menjadi rahasia Allah, di mana Allah berkuasa memberikan hal itu, tentu fenomena yang demikian bukanlah fenomena berhitung dengan Allah. Rasanya fenomena yang mendekati berhitung dengan Allah adalah bernadzar, artinya berjanji akan melakukan suatu bentuk ketaatan manakala keinginannya dikabulkan oleh Allah. Itu pun termasuk hal yang saya ketahui diperbolehkan oleh syariat. Karena muaranya adalah mendorong orang kepada kebaikan. Sebaliknya syariat melarang nadzar yang mengarah kepada keburukan. Jika seseorang bernadzar seperti itu maka nadzar itu menjadi batal untuk diwujudkan alias batal demi hukum. *** Ridha terhadap Allah berarti menerima semua ketentuan Allah terhadap manusia dan tuntutan Allah terhadap manusia. Ketentuan Allah terhadap manusia merupakan qadha dan qadar yang sudah tertulis dalam kitab Lauh Al-Mahfudz. Apa yang telah’ berlaku atas manusia disebut takdir, yang mana kita diperintahkan untuk mengambil hikmahnya agar kita lebih taat kepada Allah. Dan tuntutan Allah terhadap manusia merupakan takdir syar’i ketentuan syariat berupa wahyu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw untuk dipelajari, diamalkan, dan untuk ditaati. Mencari ridha Allah bisa diartikan menerima ketentuan Allah atas diri kita. Dalam konteks terbang, berarti siap untuk selamat ataupun tidak selamat, karena semua itu adalah rahasia Allah diluar jangkauan kita. Mencari ridha Allah juga berarti menerima tuntutan Allah terhadap diri kita. Dalam konteks terbang, jika kita menghendaki keselamatan maka kita pun hendaknya banyak mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan banyak amal ketaatan. Itulah upaya maksimal yang bisa dilakukan. Bagi mereka yang memiliki kontrol terhadap hal-hal teknis penerbangan, maka kendala-kendala teknis itu harus dihilangkan. Saya menyimpulkan mencari ridha Allah berarti berupaya semaksimal mungkin menjalankan ketaatan kepada Allah dan menyerahkan hasil akhir ketaatan itu kepada-Nya. Tentu kita tidak bisa dengan pasti mengklaim atau menilai seseorang itu telah menempuh jalan dalam keridhaan-Nya atau tidak. Tetapi setidaknya kita bisa bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah beramal semata-mata mencari ridha Allah atau tidak. Waallahua’lam bishshawaab [email protected]. SMS 0817-99-OIMAN
Assalamu’alaikum warahamtullahi wabarakatuh... Sahabatku Shariapreneur. Kami sapa para pengusaha yang membaca buku ini dengan sebutan shariapreneur atau para pengusaha syariah, yaitu mereka yang selalu kami do’akan untuk menjalankan bisnisnya sesuai syariah Allah dan juga menjadi da’i pengusaha yang menyampaikan kepada pengusaha lainnya untuk berbisnis sesuai syariah Allah. Sahabatku, buku hanya bisa menganjurkan hal-hal yang hebat, namun ia tidak pernah bisa melahirkan orang-orang hebat. Orang-orang yang teristimewa dalam ilmu dan amal, termasuk dalam bisnis tidak dilahirkan oleh bertumpuk-tumpuk buku hebat tentang bisnis yang ia baca. Mereka dilahirkan oleh kehidupan. Mereka belajar dan berkembang dari sekolah yang sebenarnya, yaitu sekolah pengalaman hidup terbaik. Baik berupa pengalaman diri pribadinya sendiri maupun pengalaman orang lain. Buku tentang cara berenang memang menguraikan cara dan teknik berenang yang baik dan benar, namun ia tidak dapat menjadikan orang yang tidak bisa berenang selamat dari tenggelam. Jika seseorang ingin bisa berenang, maka ia harus terjun ke air dan belajarlah berenang di dalamnya. Demikian pula mereka yang memiliki cita-cita menjadi seorang pengusaha sukses, ia tidak akan pernah menjadi hebat hanya karena ia membaca berjilid-jilid buku kewirausahaan entrepreneurship atau teknik pengelolaan bisnis yang sukses. Ia akan menjadi seorang wirausahawan yang dahsyat jika ia sudah terjun menjalankan usaha dan merasakan salah dan benar, gagal dan sukses, mencoba dan terus berusaha, belajar dan berlatih hingga ia mencapai kemampuan berbisnis terbaiknya. Namun demikian, sebuah buku tentang bisnis tetap dibutuhkan untuk belajar memahami berbagai hal terkait dengan bisnis sebelum benar-benar terjun ke dalamnya. Karena melalui buku yang benar seseorang dapat memahami konsep bisnis yang benar untuk ia terapkan dalam proses operasional usahanya. Shariapreneur Guiding Book ini disusun di saat begitu terbatasnya buku yang memberikan wawasan dan petunjuk panduan tentang bisnis yang diridhai Allah SWT. Dan juga disekeliling kita terus diliputi oleh bisnis-bisnis yang tidak peduli dengan halal ataupun haram. Saat inilah mungkin zaman yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya “Sungguh akan datang kepada manusia masa dimana seseorang tidak lagi peduli dengan cara apa ia mengambil harta, apakah cara itu halal ataukah haram”. HR. Bukhari Maka, kehadiran Shariapreneur Guiding Book ini menjadi sangat penting khususnya dalam membentuk karakter dan tsaqofah para pebisnis syari’ah shariapreneur agar dapat dengan benar menjalankan bisnisnya di atas jalan yang diridhoi Allah SWT. Shariapreneur Guiding Book ini disusun oleh penulis melalui proses pemahaman yang panjang dan praktek konsultasi bisnis syari’ah yang telah penyusun jalani selama lebih dari 10 tahun. Shariapreneur Guiding Book ini tidak diklaim sebagai kumpulan panduan terbaik, namun diharapkan menjadi sumbangsih berharga dalam membangun karakter dan tsaqofah para pebisnis syari’ah. Menunjukkan hukum-hukum syari’ah dalam menjalankan bisnis. Buku ini kami bagi ke dalam 8 buku. Masing-masing buku dapat berdiri sendiri untuk memecahkan persoalan syari’ah pada aspek bisnisnya masing-masing. Buku ini Ditulis Oleh Fauxan Al-Banjari dan Diterbitkan secara terbatas oleh KLINIK BISNIS SYARIAH - Banjarmasin - Kalimantan Selatan - Indonesia Selamat menyelami isi buku ini.
mencari ridho allah dalam hidup